Kamis, 23 Juli 2009

Mengapa Songkok Bone Bisa Terkenal ?


Kini tak perlu berdarah bangsawan untuk bisa memakai salah satu warisan budaya masyarakat Bugis Bone ini. Dulu, songkok To Bone dipakai oleh raja-raja Bone beserta keluarganya. Penutup kepala ini juga menjadi bagian dari setelan pakaian adat pria Bugis Bone, Sulawesi Selatan. Khusus para raja dan bangsawan, digunakan hiasan dari benang tenun emas. Makin tebal lapisan emasnya, makin tinggi derajat si pemakai.


Kini, untuk memakai songkok Bone serupa, tak perlu menjadi raja atau bangsawan lebih dulu. Siapa pun boleh, asalkan bersedia membayar lebih mahal untuk satu songkok berlapis emas murni itu. Apalagi di tengah harga emas yang sedang melonjak seperti sekarang. "Semakin tebal hasil tenunan benang emasnya, harga songkok semakin mahal," kata Rahmatang, seorang perajin songkok di Jalan Urip Sumoharjo Kilometer 4 Poros Bone-Wajo. Di kawasan yang terletak sekitar 180 kilometer dari Makassar itu terdapat empat toko songkok To Bone.

Di toko Rahmatang H. Nawir misalnya. Etalasenya memajang songkok dengan aneka motif, mulai dari benang emas, hiasan emas murni, sampai benang biasa. Warna songkok pun beragam, dari hitam, cokelat, sampai krem. "Songkok berlapis emas biasanya dipesan pejabat, "ujar Rahmatang.

Pria berusia 30 tahun ini menyebut beberapa nama pejabat yang pernah memesan songkok padanya. Bahkan Wakil Presiden Jusuf Kalla pernah dibuatkan songkok berhias tenunan emas murni tiga ringgit (gram). Orang Bone biasa menyebut ringgit sebagai pengganti satuan gram. Mantan Gubernur Sulawesi Selatan Amin Syam juga pernah memesan songkok dengan tenunan emas dua ringgit. Begitu juga Bupati Gowa, Bupati Bone, dan Bupati Sinjai. Berapa harga songkok itu?

Mari kita berhitung. Setiap satu ringgit emas, yang ketebalannya mencapai 1,5 sentimeter, dibanderol Rahmatang dengan harga Rp 15 juta. Jadi harga songkok dengan dua ringgit emas setara dengan ongkos naik haji sekarang ini.

Selain menyediakan songkok To Bone, toko Rahmatang juga menjual songkok haji, atau songkok miniatur untuk suvenir, dengan harga Rp 7.000 per buah. Saat Tempo berkunjung ke toko itu dua pekan lalu, seorang pembeli, Andi Anti, sedang memesan 500 buah miniatur songkok. "Ini untuk suvenir perkawinan adik saya," kata wanita berusia 31 tahun itu.

Selain itu, Anti memesan satu lusin songkok berharga Rp 250 ribu per buah. Menurut Anti, songkok To Bone adalah simbol adat. "Memakainya berarti turut melestarikan budaya Bugis Bone," ujarnya.

Pembeli lainnya, Andi Rahman Petta Wowu Opu Sappewali, mengambil dua buah songkok seharga Rp 150 ribu per buah. "Ini akan saya pakai pada acara hari jadi Kota Luwu," ujar Rahman.

Di sebelah toko Rahmatang, ada toko Andi Irma yang menjual songkok dengan harga dari Rp 25 ribu, Rp 50 ribu, hingga Rp 150 ribu. Khusus songkok berhiaskan benang emas dibanderol dengan harga Rp 500 ribu per buah.

Kawasan Poros Bone-Wajo juga dikenal sebagai kawasan perajin songkok. Ada sekitar 100 perajin songkok di sana. Para perajin bermitra dengan pedagang untuk mendapat pesanan. Rahmatang, misalnya, bermitra dengan 50 perajin.

Dari kawasan ini, songkok Bone dipasarkan ke Somba Opu, pusat belanja emas, suvenir, dan oleh-oleh di Makassar, Sengkang, bahkan sampai ke luar Makassar, seperti Jakarta, Kalimantan, Bali, dan Kendari. Anda siap untuk merasakan bagaimana rasanya menjadi bangsawan Bone.

Bergantung pada Pohon Lontara

Para perajin songkok di Poros Bone-Wajo kebanyakan para gadis dan ibu-ibu. Mereka membuat songkok di waktu senggang atau sore hari. Sore dua pekan lalu, saat Tempo berkunjung ke sana, tampak Kasmawati, 26 tahun, Suriani, 36 tahun, dan beberapa gadis sedang menganyam songkok di balai-balai samping rumah Kasmawati.

Selain menganyam, mereka mengolah bahan baku. Serat pelepah pohon lontara, yang menjadi bahan baku utama songkok itu, mereka tumbuk. Lalu seratnya dipisahkan. Serat kasar berwarna hitam dipakai untuk bahan dasar anyaman, sedangkan serat halus berwarna krem dijadikan benang.
Sebelumnya, songkok dibuat satu warna, yakni hitam. Setelah 1990, warna songkok ada yang krem dan cokelat. Warna cokelat diambil dari pewarna alami, yakni campuran kulit batang jambu mete yang menghasilkan warna merah kecokelatan dan kayu seppang yang menghasilkan warna merah muda. Sedangkan songkok warna krem memakai serat halus yang berwarna krem.

Dalam sebulan, para perajin ini mampu memproduksi songkok hingga 500 buah. Puncak pemesanan songkok, menurut Kasmawati, biasa terjadi saat menyambut hari jadi Kabupaten Bone, Gowa, dan Sinjai, atau menjelang peringatan 17 Agustus.

Para perajin berupaya melestarikan kerajinan songkok dengan melakukan penanam kembali pohon lontara. "Sebab, kerajinan ini memang bergantung pada pohon lontara," ujar Kasmawati. (irmawati)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar