Kamis, 23 Juli 2009

Ada Berapa Macam Sebutan Songkok Bone ?

Sebagian orang menyebutnya songkok to Bone. Ada juga yang menyebut songkok pamiring dan sebagian lagi menyebut songkok recca’. Bentuknya bulat dengan bagian atas rata dan berlubang kecil di bagian tengah atas. Umumnya berwarna hitam, coklat, atau krem—di bagian atas—dipadu warna keemasan di bagian tengah ke bawah.

Sebutan songkok bone yang banyak diucapkan orang-orang luar Bone, Sulawesi Selatan, agaknya terkait dengan sejarah pembuat songkok itu, yaitu orang-orang Bone, khususnya di Awangpone. Sebutan songkok pamiring lebih menunjuk ujung atau sisi bagian bawah songkok yang berhias warna keemasan. Biasanya jika bagian bawah berhias benang emas, sebutannya songkok pamiring, tetapi bila menggunakan emas sungguhan, disebut songkok pamiring ulaweng (songkok bersisi emas).

Di Bone sendiri orang-orang lebih menyebutnya songkok recca’. Sebutan recca’ lebih menunjuk pada proses pembuatannya, yaitu pelepah lontar dipukul-pukul (recca’) hingga menjadi serat.

Tak jelas sejak kapan dan siapa yang pertama memopulerkannya di luar Sulawesi Selatan (Sulsel). Yang pasti, songkok tersebut sudah menyebar ke mana-mana dan dikenakan banyak orang di Nusantara, mulai dari masyarakat biasa, selebritas, tokoh politik, pejabat negara, bahkan orang asing. Tak terbilang lagi segala lapisan orang yang mengenakannya di sejumlah acara di banyak tempat, entah acara formal maupun tak resmi.

Ada yang memadankannya dengan setelan jas, ada pula yang menggunakannya sebagai pelengkap kemeja atau pakaian lainnya. Singkatnya, songkok, yang pada mulanya semata-mata hanya digunakan untuk pelengkap busana adat semata dan hanya dipakai pada acara-acara adat resmi, kini sudah menjadi pelengkap beragam jenis busana di banyak tempat dan berbagai acara. Di Sulsel lazimnya songkok itu dipadupadankan dengan pakaian adat yang dikenakan pria berupa sarung sutra dan jas berkancing depan dengan kerah ala pakaian tradisional China.

Tamu-tamu asing atau wisatawan yang berkunjung ke Sulsel umumnya gemar mengenakan songkok recca’ dan membawanya pulang untuk oleh- oleh.

Berbalut emas

Sebenarnya kalau melihat bahan dasarnya, tidak ada yang istimewa dari songkok tersebut. Bahan-bahan maupun cara pembuatannya biasa-biasa saja. Sebut saja pelepah pohon lontar yang dipukul-pukul dan diurai hingga menjadi serat yang halus. Untuk membuatnya berwarna hitam atau coklat, digunakan pewarna alami dari beragam buah dan biji-bijian, bahkan lumpur sawah. Bahan lainnya adalah benang berwarna keemasan dan beberapa helai bulu rambut kepala kuda yang digunakan sebagai pembatas antara ujung bagian atas tengah songkok dan bagian lainnya.

Yang membuatnya istimewa adalah bila songkok ini berada di kepala orang-orang atau tokoh penting, terkenal, dan semacamnya. Menjadi lebih istimewa lagi jika benang keemasan yang menghias pinggiran songkok itu diganti dengan emas sungguhan. Terlebih jika susunan emas yang sebelumnya dilebur dan dibuat menyerupai benang itu cukup tinggi dan hampir menutupi seluruh sisi songkok.

Tak jelas sejak kapan emas digunakan sebagai salah satu bagian penting dari songkok recca’. Yang jelas, saat ini penggunaan emas hampir mendominasi pembuatan songkok recca’, terutama yang digunakan kalangan pejabat, orang-orang penting, dan kalangan berpunya. Hampir serupa kasta, emas bahkan menjadi parameter derajat dan kekayaan pemakai songkok ini.

"Umumnya yang saya buatkan songkok dengan pinggiran emas adalah songkok milik petinggi atau orang penting seperti gubernur, turunan bangsawan, bupati, orang-orang kaya, dan seperti itu. Saya juga banyak membuat songkok yang akan dihadiahkan kepada pejabat-pejabat negara atau menteri, bahkan tamu asing yang berkunjung ke Sulsel," kata Rahman, pembuat songkok recca’ di Desa Paccing, Kecamatan Awangpone, Kabupaten Bone, beberapa waktu lalu.

Di Bone, Rahman adalah satu dari tiga ahli pembuat songkok yang menggunakan emas sebagai bahan penghias songkok. Dua lainnya adalah Aming dan Nabisa. Di Bone, terutama di Kecamatan Awangpone, banyak yang pandai membuat songkok recca’. Namun, yang membuat songkok dari emas tak banyak jumlahnya. Karena hanya sedikit, ketiga perajin itu hampir tahu siapa-siapa saja orang penting yang pernah mereka buatkan songkok.

"Dari pejabat-pejabat, menteri, Wakil Presiden era kepemimpinan Megawati, ketua-ketua partai, anggota DPR, sampai sejumlah pengusaha kaya, baik yang di Jakarta maupun daerah lain. Tidak terhitung lagi pejabat-pejabat lokal," kata Rahman.

Dari pengalamannya membuat songkok, Rahman pernah membuat songkok yang emasnya mulai dari 15 gram hingga yang totalnya 100 gram. Songkok yang emasnya mencapai 100 gram dijual dengan harga Rp 20 juta. Selain kadar emas, harga songkok itu juga dipengaruhi proses pembuatannya yang agak rumit dan memakan waktu 15 hari hingga hampir satu bulan. Pembuatan itu terhitung sejak batang lontar dimemarkan.

Songkok tanpa emas harganya beragam, Rp 30.000-Rp 70.000. Harga songkok non-emas dipengaruhi oleh kehalusan serat lontar dan kerapian songkok.

Di Bone, pembuatan songkok sejak awal hingga penyelesaian akhir dilakukan di tempat yang berbeda-beda kendati semuanya masih satu kecamatan, di Awangpone. Kecuali penyelesaian akhir—yang meliputi pembentukan songkok sesuai dengan ukuran kepala dan penambahan benang emas atau emas sungguhan yang dilakukan perajin di Desa Paccing—proses awal dilakukan di sejumlah desa lain.

Proses awal itu antara lain memukul-mukul pelepah lontar menjadi serat halus, pewarnaan, sampai menganyam serat lontar menjadi songkok. Selanjutnya, meneruskan anyaman dan membuat bentuk hingga memberi tambahan benang emas maupun emas.

Pergeseran

Tentang penggunaan emas pada songkok recca’, A Mappasissi Petta Awangpone, salah satu keturunan bangsawan Bone yang saat ini menjadi Pemangku Adat Bone, mengatakan, pada awalnya penggunaan emas itu tak dikenal. Bahkan model yang sekarang ini dikenal banyak orang sudah merupakan pergeseran dari model awal yang dikenakan raja-raja Bone.

"Kalau dulu, modelnya bulat, tak terlalu tinggi, dan bagian atasnya agak runcing, persis seperti model topi orang Tionghoa. Pinggirannya pun bukan emas sungguhan, tapi kain berwarna emas. Entah sejak kapan songkok ini berubah bentuk dan menggunakan emas. Tapi memang sejak dimulainya penggunaan emas pada songkok, raja, para pembesar, atau bangsawan umumnya menggunakan songkok yang dibuat dari emas," katanya.

Mappasissi menambahkan, dulu songkok berhias emas sungguhan hanya digunakan oleh raja, pembesar, dan keluarga bangsawan. Rakyat biasa enggan menggunakannya sekalipun punya uang untuk membuat songkok berbalut emas. Kalaupun ada orang kaya yang bukan keluarga raja atau bangsawan yang menggunakan songkok berbalut emas, kadar emasnya tak boleh melebihi kadar emas songkok yang dikenakan raja. Dengan kata lain, susunan anyaman emas di bagian sekeliling songkok tak boleh lebih tinggi daripada yang dimiliki raja. "Tapi sekarang karena zamannya sudah beda, siapa pun, asal suka dan mau, boleh membuat dan mengenakan songkok dari emas," kata Mappasissi.

Agaknya, karena alasan itu pula songkok recca’ kini bukan lagi menjadi milik orang Sulsel, tetapi menjadi milik siapa pun yang suka mengenakannya. Bahkan songkok recca’ tak lagi dibuat di Bone saja, tetapi juga sudah dibuat perajin di sejumlah kabupaten lain di Sulsel. Hal ini pula yang mungkin membuat songkok recca’ sudah melanglang buana dari Bone, keliling Indonesia, bahkan dunia.

Mengapa Songkok Bone Bisa Terkenal ?


Kini tak perlu berdarah bangsawan untuk bisa memakai salah satu warisan budaya masyarakat Bugis Bone ini. Dulu, songkok To Bone dipakai oleh raja-raja Bone beserta keluarganya. Penutup kepala ini juga menjadi bagian dari setelan pakaian adat pria Bugis Bone, Sulawesi Selatan. Khusus para raja dan bangsawan, digunakan hiasan dari benang tenun emas. Makin tebal lapisan emasnya, makin tinggi derajat si pemakai.


Kini, untuk memakai songkok Bone serupa, tak perlu menjadi raja atau bangsawan lebih dulu. Siapa pun boleh, asalkan bersedia membayar lebih mahal untuk satu songkok berlapis emas murni itu. Apalagi di tengah harga emas yang sedang melonjak seperti sekarang. "Semakin tebal hasil tenunan benang emasnya, harga songkok semakin mahal," kata Rahmatang, seorang perajin songkok di Jalan Urip Sumoharjo Kilometer 4 Poros Bone-Wajo. Di kawasan yang terletak sekitar 180 kilometer dari Makassar itu terdapat empat toko songkok To Bone.

Di toko Rahmatang H. Nawir misalnya. Etalasenya memajang songkok dengan aneka motif, mulai dari benang emas, hiasan emas murni, sampai benang biasa. Warna songkok pun beragam, dari hitam, cokelat, sampai krem. "Songkok berlapis emas biasanya dipesan pejabat, "ujar Rahmatang.

Pria berusia 30 tahun ini menyebut beberapa nama pejabat yang pernah memesan songkok padanya. Bahkan Wakil Presiden Jusuf Kalla pernah dibuatkan songkok berhias tenunan emas murni tiga ringgit (gram). Orang Bone biasa menyebut ringgit sebagai pengganti satuan gram. Mantan Gubernur Sulawesi Selatan Amin Syam juga pernah memesan songkok dengan tenunan emas dua ringgit. Begitu juga Bupati Gowa, Bupati Bone, dan Bupati Sinjai. Berapa harga songkok itu?

Mari kita berhitung. Setiap satu ringgit emas, yang ketebalannya mencapai 1,5 sentimeter, dibanderol Rahmatang dengan harga Rp 15 juta. Jadi harga songkok dengan dua ringgit emas setara dengan ongkos naik haji sekarang ini.

Selain menyediakan songkok To Bone, toko Rahmatang juga menjual songkok haji, atau songkok miniatur untuk suvenir, dengan harga Rp 7.000 per buah. Saat Tempo berkunjung ke toko itu dua pekan lalu, seorang pembeli, Andi Anti, sedang memesan 500 buah miniatur songkok. "Ini untuk suvenir perkawinan adik saya," kata wanita berusia 31 tahun itu.

Selain itu, Anti memesan satu lusin songkok berharga Rp 250 ribu per buah. Menurut Anti, songkok To Bone adalah simbol adat. "Memakainya berarti turut melestarikan budaya Bugis Bone," ujarnya.

Pembeli lainnya, Andi Rahman Petta Wowu Opu Sappewali, mengambil dua buah songkok seharga Rp 150 ribu per buah. "Ini akan saya pakai pada acara hari jadi Kota Luwu," ujar Rahman.

Di sebelah toko Rahmatang, ada toko Andi Irma yang menjual songkok dengan harga dari Rp 25 ribu, Rp 50 ribu, hingga Rp 150 ribu. Khusus songkok berhiaskan benang emas dibanderol dengan harga Rp 500 ribu per buah.

Kawasan Poros Bone-Wajo juga dikenal sebagai kawasan perajin songkok. Ada sekitar 100 perajin songkok di sana. Para perajin bermitra dengan pedagang untuk mendapat pesanan. Rahmatang, misalnya, bermitra dengan 50 perajin.

Dari kawasan ini, songkok Bone dipasarkan ke Somba Opu, pusat belanja emas, suvenir, dan oleh-oleh di Makassar, Sengkang, bahkan sampai ke luar Makassar, seperti Jakarta, Kalimantan, Bali, dan Kendari. Anda siap untuk merasakan bagaimana rasanya menjadi bangsawan Bone.

Bergantung pada Pohon Lontara

Para perajin songkok di Poros Bone-Wajo kebanyakan para gadis dan ibu-ibu. Mereka membuat songkok di waktu senggang atau sore hari. Sore dua pekan lalu, saat Tempo berkunjung ke sana, tampak Kasmawati, 26 tahun, Suriani, 36 tahun, dan beberapa gadis sedang menganyam songkok di balai-balai samping rumah Kasmawati.

Selain menganyam, mereka mengolah bahan baku. Serat pelepah pohon lontara, yang menjadi bahan baku utama songkok itu, mereka tumbuk. Lalu seratnya dipisahkan. Serat kasar berwarna hitam dipakai untuk bahan dasar anyaman, sedangkan serat halus berwarna krem dijadikan benang.
Sebelumnya, songkok dibuat satu warna, yakni hitam. Setelah 1990, warna songkok ada yang krem dan cokelat. Warna cokelat diambil dari pewarna alami, yakni campuran kulit batang jambu mete yang menghasilkan warna merah kecokelatan dan kayu seppang yang menghasilkan warna merah muda. Sedangkan songkok warna krem memakai serat halus yang berwarna krem.

Dalam sebulan, para perajin ini mampu memproduksi songkok hingga 500 buah. Puncak pemesanan songkok, menurut Kasmawati, biasa terjadi saat menyambut hari jadi Kabupaten Bone, Gowa, dan Sinjai, atau menjelang peringatan 17 Agustus.

Para perajin berupaya melestarikan kerajinan songkok dengan melakukan penanam kembali pohon lontara. "Sebab, kerajinan ini memang bergantung pada pohon lontara," ujar Kasmawati. (irmawati)